Rabu, 12 Desember 2012

CERPEN KU


Dipangkal Ulek-Ulek Simbok

Kota Surabaya, nama yang cantik. Tetapi nama itu tak secantik nasib mbok Parinten. Matahari mulai mendaki langit, hari sudah menjelang siang. Tiba saatnya Mbok Parinten menggeluti profesinya sebagai seorang pedagang pecel di pinggiran jalan Patimura. Di kios kecil itu tempat Mbok Parinten mencari nafkah sekaligus sebagai tempat tinggal. Mbok Pariten hanya tinggal bersama Asih, anak tunggalnya. Karena suaminya telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Sampai Asih remaja, Mbok parinten lah yang menjadi seorang ibu dan sekaligus ayah untuk Asih. Karena kegigihan Mbok Parinten kini Asih dapat bersekolah di SMA Trisila.
Asih datang dari kejauhan dengan muka maram, dan itu sudah tak asing lagi bagi Mbok Parinten. Bisa dikatakan itu makanan sehari-hari Mbok Parinten. “Ada apa lagi to ndok?” tanya Mbok Parinten. “ simbok itu ngerti gak to? Asih malu punya ibu kayak simbok yang bisanya cuma bikin pecel, Asih malu sama teman-teman Asih. Teman-teman Asih semuanya punya HP, tapi Asih? Cuma punya ulek-ulek cobek pecel. Asih pengen kayak teman-teman Asih Mbok! Kalo gini cara simbok, mending Asih gak punya ibu sekalian, biar Asih nggak malu. Mending Asih pergi saja dari kios kecil ini!”. Mbok Parinten hanya bisa bersimpuh dan tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya bisa mencucurkan air mata karena goresan sakit yang luar biasa yang baru saja dialaminya. Tak ada lagi upaya mencegah Asih untuk keluar dari rumah itu, karena semuanya akan terasa sia-sia.  Semua pengorbanan Mbok Parinten sudah tidak berguna lagi.
          Asih melangkahkan kaki menyusuri kota Surabaya yang hari ini terik matahari terasa menyengat kulit, hingga ia merasa lapar dan tak tau apa yang harus ia makan. Serupiah pun tak ada uang di kantongnya. Asih terlalu sombong dengan kemampuan dirinya tanpa ibunya. Karena tak tau lagi apa yang harus ia makan, munculah niat jahatnya untuk mencuri beberapa buah mangga di balik pagar pesantren Darul Ulum. Namun, ia merasa buah mengga itu hanya mengenyangkan sesaat, munculah niat jahatnya untuk mengambil jemuran milik santriwati, yang mungkin bisa ia jual kepada tukang loak. Hasil dari penjualan baju-baju itu akan ia gunakan untuk membeli makan seminggu ini. Belum sempat menggambil semua jemuran dari talinya, terdengar teriakan “Maling…maling…maling…Pak Kyai ada maling..”Asih yang tersentak kaget langsung menggerakan kakinya menuju pagar. Tetapi apa yang dilakukannya itu sia-sia. Ternyata ia telah dikepung oleh beberapa santriwati. “Heh…pencuri!! mau lari kemana kamu? Dasar pencuri!! Sebentar lagi Pak kyai datang. Siap-siap saja kehilangan tangan kanan mu!” kata salah seorang santriwati dengan muka sinis. Kemudian terlihat dari kejauhan seorang laki-laki separuh baya memakai jubah putih. “Ada apa ini?” tanya pak kyai. “Ini pak kyai, ada pencuri yang ngambil  jemuran kami” kata salah seorang santriwati. “Sudah..sudah.., biar bapak saja yang menghukum anak ini” kata pak kyai. “Potong saja tangannya pak kyai, itu hukuman yang lazim untuk  seorang pencuri” kata seorang santriwati. ”Cukup Aisyah, biar bapak saja yang menentukan hukuman yang pantas untuk anak ini, sekarang kalian bubar” kata pak kyai.
“Ayo masuk nak!” Pak kyai mempersilakan. Sekarang Asih bingung, pak kyai yang seharusnya memberi hukuman untuk dirinya, malah bersikap manis kepadanya. “Pak kyai nggak menghukum saya?”tanya Asih. “Sekarang kamu masuk kamar itu!” kata pak kyai. Dan Asih menurut saja. Kemudian dilihatnya beberapa anak kecil yang sedang tertidur pulas di ranjang kecil, sekitar empat orang anak yang kira-kira berumur satu tahun dan satu orang berumur tujuh bulan. “Anak-anak ini siapa pak kyai?” tanya Asih. “Anak-anak ini adalah korban gempa bumi yang terjadi di Bantul beberapa bulan lalu. Mereka kehilangan orang tua mereka yang akhirnya bapak dan ibu yang mengurus. Tetapi karena ibu kondisinya lemah karena hamil tua dan kebetulan pengasuh mereka pulang kampung karena ada keluarganya yang sakit, maka hukuman bagi kamu adalah merawat dan menjaga anak-anak ini sampai pengasuhnya datang. Mungkin sekitar seminggu. Selanjutnya kamu penuhi air bak tempat wudhu, bantu cuci piring, dan bersihkan kamar ini” jelas pak kyai. Asih menarik nafas dalam-dalam karena merasa tugas yang diberikan pak kyai itu sangat berat.  Namun karena ia merasa salah, Asih menerimanya saja meskipun dengan dengan berat hati dan rasa terpaksa.
Hari pertama dimulai, Asih harus bangun pagi-pagi untuk mengisi bak wudhu, mencuci piring, dan membersihkan kamar. Ia merasakan lelah yang luar biasa mengerjakan tugas-tugas itu. Ketika itu ia teringat akan aktifitas ibunya setiap subuh. Ketika ia masih terlelap tidur,  ibunya yang mengerjakan pekerjaan itu. Ketika itu tak ada sedikitpun niat Asih untuk membantu. Bahkan jika terdengar sedikit saja suara sapu menyentuh meja, Asih langsung marah-marah tidak jelas. Tak lama kemudian terdengar salah seorang bayi menangis. Langsung saja Asih tunggang langgang ke arah sumber suara. Ternyata anak itu mengompol dan Asih yang harus membersihkannya. Terdengar lagi seorang bayi yang menangis, ternyata bayi itu terkena pilek dan Asih yang harus membersihkan ingus anak itu. Mendengar anak-anak yang menangis, terdengar berisik sekali di telinga Asih.
 Jam sarapan telah tiba, asih harus menyuapi bayi-bayi itu dengan telaten. Ada anak yang tak mau makan, Asih teringat dirinya waktu kecil dulu, ketika ia tak mau makan ibunya merayunya dengan berbagai cara sampai akhirnya ia mau makan. Hingga tengah malam tidur Asih selalu terganggu, ada saja gangguan anak-anak kecil itu, ada yang menangis minta susu, mengompol, dan rewel karena pilek. Hal itu sungguh mengganggu Asih. Ia tak pernah membayangkan bagaimana lelahnya menjadi seorang ibu, Asih merasa lelah sekali padahal hanya sehari ia menjalani pekerjaan itu.
Setelah semua anak tertidur lelap, terdengar suara kegaduhan dari ruang tamu. Ternyata Istri pak kyai akan melahirkan. Karena malam telah larut, akhirnya dokter bedah yang datang ke rumah pak kyai untuk menolong persalinan. Asih ikut membantu persalinan itu dan melihat sendiri proses persalinan itu, dalam proses itu nyawa yang menjadi taruhannya. Keringat Umi Inayah bercucuran, menguras seluruh tenaga untuk mendorong keluarnya bayi, sekitar satu setengah jam barulah terdengar tangisan bayi yang keluar dari rahim ibunya. Ketika itu Asih tersimpuh lemas, menyadari akan dosanya kepada simboknya. Dengan penuh pengorbanan simbok melahirkan dan membesarkan Asih sendiri, bertindak sebagai ayah, menjaga dan merawat Asih hingga ia remaja, dalam tangis dan sakit, tak seditpun simboknya mengeluh. Tapi tak seindah itu balasan dari Asih. Bisa diibaratkan air susu dibalas dengan air tuba. Ketika itu tercucur air mata Asih.
Keesokan harinya Asih memohon pamit kepada pak kyai. Sebelumnya Asih menceritakan hal yang dialaminya kepada pak kyai. “Tahukah kamu Asih cobek simbokmu adalah permatamu, Cobek itu adalah rejeki dari Yang Maha Kuasa untukmu. Dan simbokmu itu adalah surgamu. Jangan kamu sekali-kali berbuat buruk kepada simbokmu. Dialah yang telah bertaruh nyawa demi kamu, merawat kamu dan membesarkan kamu dari dalam kandungan hingga lahir di dunia ini tanpa pamrih. Jangan sekali-kali kamu menyakiti hatinya. Jika hal itu telah terjadi kembalilah dan lekas-lekaslah kamu meminta maaf kepada simbokmu sebelum terlambat” jelas pak kyai. “Matur nuwun atas semua kebaikan pak kyai selama saya disini, saya mohon pamit” kata Asih.
Tibalah Asih di depan rumahnya. Terlihat beberapa orang yang baru saja keluar dari rumahnya. Dengan heran Asih menatapi orang-orang itu. Setelah sampai di  depan pintu rumah, bacaan yasin terdengar di telinganya. Yang terlihat adalah sesosok perempuan yang terbaring dengan berpakaian kain mori putih. Dengan tergopoh Asih memeluk perempuan itu dengan isak tangis. Tak sempat lagi ia meminta maaf kepada simboknya, semuanya sudah terlambat. Hanya tangis duka yang bisa di perbuatnya.
Innalillahi wa Innailaihi rojiun.
****

1 komentar:

  1. Alhamdulillah, trims buanget lho, blog ini sangat membantu sekali dlm menyelesaikan tugas-tugasku

    BalasHapus